Rabu, 19 Oktober 2016

tafsir bil ma'tsur



                                                                            
TAFSIR BIL MA’TSUR

A. Latar Belakang                                             
Al-Qur'an adalah kalam Allah Swt. yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. melalui perantara malaikat Jibril As, berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai kalam Allah Swt. yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal, dll. Namun, Allah Swt.  tidak memberi perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafazh al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan berupa tafsir al-Qur’an.[1]
         Dalam perspektif 'ulum al-Qur'an, ditemukan beberapa terminology penafsiran yang salah satunya adalah tafsir bil ma'tsur. Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in, dan cerita isroiliyah.
         Terminology tafsir bil ma’tsur perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam  sehingga pemahaman terhadap tafsir bil ma’tsur tidak dangkal yang pada akhirnya diharapkan bisa menjelaskan isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar,     
 dan bisa mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari.

B.   Pengertian Tafsir bil Ma’tsur .
            Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan.[2] Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti mengutip. Pada dasarnya Tafsir bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua gabungan kata yaitu: al-tafsir dan  al-ma’tsur, yang bila dipisahkan mengandung makna masing-masing yang berbeda. Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian etimologis adalah al-kaysf wa al-izhar yang berarti menyingkap atau membuka dan melahirkan. Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal dari kata atsara yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya. Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara etimlogis berarti naqala  yaitu mengutip, al-atsara juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa lalu.
Sedangkan secara terminologis Imam Al Shuyuthi mengatakan:
           
هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران أو بالسنة ﻷ نها جاءت مبينة لكتاب الله أو بما روي عن الصحاب لأنهم أعلم الناس لكتاب الله.  
أو بما قاله كبار التابعين  ﻷنهم تلقوا  ذلك غالبا عن الصحابة،  وقيل بالقصة الإسرائلية
Artinya :“Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat  karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat, dan dengan cerita-cerita isroiliah”.
Dari pengertian diatas dapat sedikit kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi Tafsir bil Ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik itu berasal dari nash al-Quran, sunnah Rasulullah, aqwal para Sahabat, aqwal para Tabi’in, dan cerita Isroiliah.

B.   Sejarah Perkembangan Tafsir bil Ma’tsur
Ketika Rasulullah Saw., masih hidup, apabila para sahabat menemukan ayat-ayat yang tidak dipahami maksudnya atau membutuhkan penjelasan lebih rinci, para sahabat bisa langsung menanyakan kepada beliau. Hal inilah yang diungkapkan Said Agil Husin Al-Munawar, bahwa Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (sebagai penjelas), yaitu menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan isi kandungan Alquran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.[3] Dengan demikian, upaya penafsiran Alquran telah ada pada masa Rasulullah.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy menyebut Rasul sendiri sebagai penafsir awal (Al-Mufassirul Awwal) terhadap Alquran. Maksudnya adalah beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Ketika Rasul masih hidup, para sahabat tidak ada yang mau memberanikan diri untuk menafsirkan Alquran. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Alquran.[4]
Dengan demikian, berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penafsiran terhadap Alquran telah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup. Namun, yang berposisi sebagai penafsir pada saat itu, diemban oleh Rasulullah Saw. Namun, setelah beliau wafat, barulah kemudian muncul polemik, kepada siapa lagi umat bertanya tentang isi kandungan Alquran tersebut. Hal ini merupakan hal yang lumrah, semakin luasnya daerah penyebaran Islam berakibat pada semakin kompleksnya masalah yang ditemui dalam masyarakat. Sehingga, Alquran bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan umat Islam saat itu.
Hal inilah yang memicu para sahabat untuk melakukan ijtihad, khususnya bagi mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.[5] Sesudah Rasul wafat, barulah kemudian para sahabat yang alim yang mengetahui rahasia-rahasia Alquran dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri, merasa perlu untuk menerangkan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami tentang maksud-maksud al Quran.
Muhammad Husain al Dzahabi dalam Tafsir Wal Mufassirun menyebutkan bahwa perkembangan Tafsir bil Ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, pertama, periode periwayatan  (daur al riwayah), kedua periode kodifikasi atau pembukuan (daur al tadwin).
1.      Periode periwayatan  (Daur al Riwayah) dapat dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama masa Rasulullah, tahap kedua pada masa sahabat, tahap ketiga  pada masa tabi’in, dan tahap keempat pada masa sesudah tabi’in.
2.      Periode kodifikasi atau pembukuan (Daur al Tadwin) pada periode ini Tafsir bil Ma’tsur  mulai ditulis dan dibukukan, baik yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw ataupun Sahabat, dimana terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah.  Periode kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu:
·         Tahap pertama, pembukuan Tafsir bil Ma’tsur belum mengambil bentuknya yang sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
·         Tahap kedua, mulai dilakukan pemisahan antara Tafsir bil Ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori adalah Ali bin Abi Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
·         Tahap ketiga, Tafsir bil Ma’tsur mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, seperti yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja, dan tiga juz lainnya oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibn Juraij.
·         Tahap keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat Tafsir bil Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah Saw, kepada para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir at Thabariy.[6]

C.   Bentuk-Bentuk Tafsir bil Ma’tsur
1.      Penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an
Metode yang pertama adalah menafsirkan  al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an sendiri, metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Karena al-Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya. Contoh, seperti firman Allah:
أحلت لكم الأنعام إلاما يتلى عليكم
Artinya : Telah dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan dibacakan kepadamu  (QS. al-Hajj: 30 )
Kata:  إلا ما يتلى عليكم  ditafsirkan dengan ayat lain:
حرمت عليكم الميتة و الحم الخنزير وما أهل لغير الله به  
Artinya: Diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah ( QS. al-Maidah : 3)[7]

2.      Penafsiran al Qur’an dengan al Hadis
Mitode yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan Hadits, karena sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an.
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الامن وهم مهتدون
                        Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-oramng yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-An'am: 82)
Nabi Saw. menafsirkan lafal adh-zulmu الظلم dengan asy-syirku  الشرك penafsiran demikian dikuatkan oleh firman Allah Swt:
لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم
Artinya: janganlah kamu mempersekutukan Allah, sessungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar benar kezaliman yang besar (QS.Alluqman:130).
3.      Penafsiran al Qur’an dengan Pendapat para Sahabat
Mitode yang ke tiga adalah menafsirkan ayat al Quran dengan pendapat para sahabat, seperti firman Allah:
إن الصف والمروة من شعائر الله   فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما  ومن تطوع خيرا فإن الله شاكر عليم
Artinya : “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 158)
Mengenai ayat ini seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menjelaskan bahwa peniadaan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum muslimin bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan jahiliyah. Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut:
                         
  بدأ بما بدأ الله الصفا )رواه  مسلم(

Artinya : “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa.” (H.R.Muslim)

4.      Penafsiran al Qur’an dengan Pendapat para Tabi’in atau Tabi’it tabi’in.
Metode yang ke empat adalah, menafsirkan al Qur’an dengan pendapat para tabi’in, karena diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih[8]
Contoh, firman Allah Swt: (Q.S. al Baqarah. 191).
واقتلوهم حيث ثـقـفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفتنة الشد من القتل
Imam Shuyuthi  berpendapat bahwa yang dimaksud dengan  والفتنة الشد من القتل (dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan) dalam ayat ini ialah:
الشرك منهم أعظم إثما من القتل
(menjadikan sekutu orang-orang kafir lebih besar dosanya daripada pembunuhan/membunuhnya).

5.      Penafsiran al Qur’an dengan Cerita-cerita Isroiliyah
Riwayat israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Nasrani daan Yahudi yang menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan  Saat mereka membaca  kisah-kisah dalam Al-Quran  terkadang mereka paparkan rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Ketika mereka membaca ayat Al-Quran dan ketika ayat Al-Quran itu menyinggung kisah yang sama, mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab mereka sebelumnya.
Contoh, Firman Allah Swt:
واتبعوا ما تتلو الشياطين على ملك سليما وما كفر سليمان ولكن الشياطين كفروا يعلمون الناس السحروما أنزل على الملكين  ببابل هاروت وماروت وما يعلمان من أحد حتى يقولا إنما نحن فتنة فلا تكفر فيتعلمون منهما ما يفرقون به بين المرء وزوجه
Artinya: dan mereka mengikuti apa[9] yang dibaca oleh syaitan-syaitan[10]pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[11]di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.[12]


            Imam Ar rozi dalam kitab tafsirnya menuliskan cerita isroiliah tentang siapa yang dimaksud dengan dua malaikat (Harut dan Marut) dalam ayat ini, yaitu:
قال الإمام الراز فى تفسيره  ان السحرة كثرت فى ذ لك الزمان, واستنبطت ابوا با غريبة من السحر وكانوا يدعون النبوة, ويجعلون تلك الاعمال السحرية معجزا تهم فبعث الله  تعالى هذين الملكين لاجل ان يعلما الناس ابواب السحر حتى يتمكنوا من معارضة اولئك السحرة الذىن       يدعون النبوة كذبا
Artinya: Imam ar rozi dalam kitab tafsirnya berkata: Sesungguhnya penyihir pada zaman[13] itu meraja lela, mereka membuat keanehan-keanehan atau keajaiban-keajaiban dari sihir dan mengaku sebagai nabi, mereka mengatakan keanehan-keanehan tersebut adalah mu’jizat mereka, kemudian Allah Swt. Mengutus dua malaikat (harut dan marut) untuk mengajarkan manusia tentang ilmu sihir sehingga manusia menjadi mampu untuk melawan[14] banyaknya penyihir yang mengaku sebagai nabi (palsu).

D.   Tokoh-tokoh Tafsir bil Ma’tsur beserta Karyanya
1.      Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”

2.      Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya adalah Nashr Ibnu Muhammad As Samarqandy yang panggilannya adalah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini adalah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.

3.      Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini adalah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury. Ia adalah seorang musafir yang ahli membaca Al-Qur’an. Panggilannya adalah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara pasti tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup menyebutkannya pada pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat senang dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap asing bahkan sama sekali tidak benar adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.
4.      Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy, seorang ahli fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup sunnah. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510 H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy menganggap bahwa ia adalah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini telah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara umum adalah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir dengan ma’tsur.
5.      Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini adalah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6.      Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini adalah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan yang dha’if. Beliau dilahirkan di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashra pada tahun 700 H, dan wafat pada tahun 774 H.


7.      Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, beliau dalah pengarang beberapa kitab yang terkenal, ia juga menjadi pengarang kitab tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur. Beliau dilahirkan dimalam ahad sesudah maghrib, awal bulan rojab tahun 849 H di kairo, beliau wafat di malam jum’at tanggal 19 jumadil ula tahun 911 H.

 E.   Kesimpulan
Tafsir bil Ma’tsur adalaah penafsiran yang berdasarkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Ayat Al-Qur’an lainnya, ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, ayat Al-Qur’an dengan perkataan sahabat. Tafsir bil ma’tsur berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, oleh karena itu tafsir bil ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi riwayat. Tafsir bi ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi naqli.
            Karakteristik tafsir bil ma’tsur yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadit Nabi Saw. Al-Qur’an dengan perkataan Sahabat. Dan dalam kitab tafsir bil ma’tsur juga terdapat juga riwayat-riwayat israiliyat yaitu riwayat yang berasal dari Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Israiliyat digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara Al-Quran dengan Taurat dan Injil dalam beberapa masalah, khususnya yaitu mengenai kisah-kisah umat terdahulu, dimana dalam Al-Quran dikisahkan secara singkat dan ringkas, namun di dalam kitab-kitab sebelumnya dijelaskan secara panjang lebar.
Tafsir bil ma’tsur sangat dianjurkan untuk diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti al Qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah Swt.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad Saw, seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat al- Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir bil Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk  pada Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Sekian…



[1] Ridwan Hamidi, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal 04 November 2016
[2] Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hal. 44
[3]Said Agil Husin Al Munawar, Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta, Ciputat Press, 2002,    hlm. 76.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alquran, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2002,      hlm. 199.
[5]Op.cit
[6] ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hal.3-5
[7] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: pustaka Amani, 2001)hlm  100
[8] islam.pusatstudi.com tafsir-bil-matsur.html diakses  tanggal 10 november 2016
[9] Maksudnya: Kitab-Kitab sihir.
[10] Syaitan-syaitan itu menyebarkan berita-berita bohong, bahwa Nabi Sulaiman menyimpan lembaran-lembaran sihir (Ibnu Katsir).
[11]Para mufassirin berlainan Pendapat tentang yang dimaksud dengan 2 orang Malaikat itu. ada yang berpendapat, mereka betul-betul Malaikat dan ada pula yang berpendapat orang yang dipandang saleh seperti Malaikat dan ada pula yang berpendapat dua orang jahat yang pura-pura saleh seperti malaikat.
[12] Berbacam-macam sihir yang dikerjakan orang Yahudi, sampai kepada sihir untuk mencerai-beraikan masyarakat seperti mencerai-beraikan suami isteri.
[13] Zaman setelah wafatnya nabi Sulaiman
[14] Mampu membedakan antara sihir dengan mu’jizat