TAFSIR
BIL MA’TSUR
A. Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kalam Allah Swt. yang diwahyukan kepada nabi Muhammad
Saw. melalui perantara malaikat Jibril As, berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia. Sebagai kalam Allah Swt. yang notabene berbeda dengan kalam
manusia, tentu hanya Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya.
Didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah,
kaidah-kaidah syari’at, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang
lurus dalam berpikir dan beramal, dll. Namun, Allah Swt. tidak memberi perincian-perincian dalam
masalah-masalah itu sehingga banyak lafazh al-Qur’an yang membutuhkan
penjelasan, apalagi sering menggunakan susunan kalimat yang singkat namun luas
pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak
makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan berupa tafsir al-Qur’an.[1]
Dalam perspektif 'ulum al-Qur'an, ditemukan beberapa terminology penafsiran
yang salah satunya adalah tafsir bil ma'tsur. Tafsir bil ma'tsur diartikan
sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an
dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in, dan cerita
isroiliyah.
Terminology tafsir bil ma’tsur perlu kiranya dikaji secara utuh dan
mendalam sehingga pemahaman terhadap
tafsir bil ma’tsur tidak dangkal yang pada akhirnya diharapkan bisa menjelaskan
isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar,
dan bisa mengimplementasikanya dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Pengertian Tafsir bil
Ma’tsur .
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar
kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan.[2]
Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti
mengutip. Pada dasarnya Tafsir
bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua gabungan kata yaitu: al-tafsir dan
al-ma’tsur, yang bila dipisahkan mengandung makna masing-masing yang berbeda.
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian etimologis
adalah al-kaysf wa al-izhar yang berarti
menyingkap atau membuka dan melahirkan. Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal
dari kata atsara yang berarti bekas,
yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya. Kata al-ma’tsur
adalah isim maf’ul dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara
etimlogis berarti naqala yaitu mengutip, al-atsara juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan
kesan, dimana pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti
atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa lalu.
Sedangkan secara terminologis Imam Al Shuyuthi
mengatakan:
هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ
كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران أو بالسنة ﻷ نها جاءت مبينة
لكتاب الله أو بما روي عن الصحاب لأنهم أعلم الناس لكتاب الله.
أو بما قاله كبار التابعين ﻷنهم تلقوا
ذلك غالبا عن الصحابة، وقيل بالقصة
الإسرائلية
Artinya :“Tafsir
bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu
menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi
menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat karena merekalah
yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh
tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para
Sahabat, dan dengan cerita-cerita isroiliah”.
Dari pengertian
diatas dapat sedikit kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi Tafsir bil Ma’tsur
adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik itu
berasal dari nash al-Quran, sunnah Rasulullah, aqwal para Sahabat, aqwal para
Tabi’in, dan cerita Isroiliah.
B. Sejarah Perkembangan Tafsir
bil Ma’tsur
Ketika Rasulullah Saw., masih hidup,
apabila para sahabat menemukan ayat-ayat yang tidak dipahami maksudnya atau
membutuhkan penjelasan lebih rinci, para sahabat bisa langsung menanyakan
kepada beliau. Hal inilah yang diungkapkan Said Agil Husin Al-Munawar, bahwa
Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (sebagai penjelas), yaitu
menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan isi kandungan Alquran,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.[3] Dengan demikian, upaya penafsiran Alquran telah ada pada masa
Rasulullah.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy
menyebut Rasul sendiri sebagai penafsir awal (Al-Mufassirul Awwal)
terhadap Alquran. Maksudnya adalah beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang
diturunkan kepadanya. Ketika Rasul masih hidup, para sahabat tidak ada yang mau
memberanikan diri untuk menafsirkan Alquran. Rasul sendirilah yang memikul
tugas menafsirkan Alquran.[4]
Dengan demikian, berdasarkan
beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penafsiran terhadap
Alquran telah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup. Namun, yang berposisi
sebagai penafsir pada saat itu, diemban oleh Rasulullah Saw. Namun, setelah
beliau wafat, barulah kemudian muncul polemik, kepada siapa lagi umat bertanya
tentang isi kandungan Alquran tersebut. Hal ini merupakan hal yang lumrah,
semakin luasnya daerah penyebaran Islam berakibat pada semakin kompleksnya
masalah yang ditemui dalam masyarakat. Sehingga, Alquran bisa memberikan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan umat Islam saat itu.
Hal inilah yang memicu para sahabat
untuk melakukan ijtihad, khususnya bagi mereka yang mempunyai kemampuan seperti
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.[5]
Sesudah Rasul wafat, barulah kemudian para sahabat yang alim yang mengetahui
rahasia-rahasia Alquran dan yang mendapat petunjuk langsung dari Nabi sendiri,
merasa perlu untuk menerangkan apa yang mereka ketahui dan mereka pahami
tentang maksud-maksud al Quran.
Muhammad Husain al
Dzahabi dalam Tafsir Wal Mufassirun menyebutkan bahwa perkembangan
Tafsir bil Ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, pertama, periode
periwayatan (daur al riwayah),
kedua periode kodifikasi atau pembukuan (daur al tadwin).
1. Periode periwayatan (Daur al
Riwayah) dapat dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama masa
Rasulullah, tahap kedua pada masa sahabat, tahap ketiga pada masa tabi’in, dan tahap keempat pada
masa sesudah tabi’in.
2. Periode kodifikasi atau pembukuan (Daur al Tadwin) pada periode
ini Tafsir bil Ma’tsur mulai ditulis dan
dibukukan, baik yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw ataupun Sahabat, dimana
terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah. Periode kedua ini dalam perkembangannya juga
melalui beberapa tahap, yaitu:
·
Tahap pertama,
pembukuan Tafsir bil Ma’tsur belum mengambil bentuknya yang sempurna dan belum
berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya
banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda beda , juga masih berupa
kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
·
Tahap kedua, mulai
dilakukan pemisahan antara Tafsir bil Ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan
hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang
pertama kalinya mempelopori adalah Ali bin Abi Talhah berdasarkan riwayat ibn
Abbas.
·
Tahap ketiga, Tafsir
bil Ma’tsur mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, seperti yang
dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja, dan tiga juz lainnya oleh
Muhammad bin Tsaur dari Ibn Juraij.
·
Tahap keempat,
pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat Tafsir bil Ma’tsur lengkap
dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah Saw, kepada para Sahabat, Tabi’in,
dan Tabi’ut Tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir at Thabariy.[6]
C. Bentuk-Bentuk Tafsir bil
Ma’tsur
1.
Penafsiran
al Qur’an dengan al Qur’an
Metode yang pertama
adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ayat
al-Qur’an sendiri, metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Karena
al-Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin terdapat
kesalahan di dalamnya. Contoh, seperti firman Allah:
أحلت لكم الأنعام
إلاما يتلى عليكم
Artinya : Telah
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali apa yang akan dibacakan kepadamu (QS. al-Hajj: 30 )
Kata: إلا ما يتلى عليكم ditafsirkan
dengan ayat lain:
حرمت عليكم الميتة و
الحم الخنزير وما أهل لغير الله به
Artinya: Diharamkan
bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan
dengan nama Allah ( QS. al-Maidah : 3)[7]
2.
Penafsiran
al Qur’an dengan al Hadis
Mitode yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan Hadits,
karena sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an.
Allah 'Azza wa jalla berfirman:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الامن وهم مهتدون
Artinya: orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-oramng yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-An'am: 82)
Nabi Saw.
menafsirkan lafal adh-zulmu
الظلم dengan asy-syirku الشرك penafsiran demikian
dikuatkan oleh firman Allah Swt:
لا تشرك بالله إن
الشرك لظلم عظيم
Artinya: janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sessungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar benar kezaliman yang besar (QS.Alluqman:130).
3.
Penafsiran
al Qur’an dengan Pendapat para Sahabat
Mitode yang ke tiga adalah
menafsirkan ayat al Quran dengan pendapat para sahabat, seperti firman Allah:
إن الصف والمروة من شعائر الله
فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما ومن تطوع خيرا فإن الله شاكر عليم
Artinya : “Sesungguhnya
Shafa dan Marwa adalah di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang
beribadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu
kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan
lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 158)
Mengenai ayat ini
seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menjelaskan
bahwa peniadaan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan
kaum muslimin bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan
jahiliyah. Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut:
بدأ بما بدأ الله الصفا )رواه مسلم(
Artinya : “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa.” (H.R.Muslim)
4.
Penafsiran
al Qur’an dengan Pendapat para Tabi’in atau Tabi’it tabi’in.
Metode yang ke
empat adalah, menafsirkan al Qur’an dengan pendapat para tabi’in, karena diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat.
Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu
penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan
pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih[8]
Contoh, firman Allah
Swt: (Q.S. al Baqarah. 191).
واقتلوهم حيث ثـقـفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفتنة الشد من القتل
Imam Shuyuthi berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan والفتنة الشد من القتل (dan fitnah itu
lebih kejam daripada pembunuhan) dalam ayat ini ialah:
الشرك منهم أعظم إثما
من القتل
(menjadikan sekutu orang-orang kafir lebih besar dosanya daripada
pembunuhan/membunuhnya).
5.
Penafsiran
al Qur’an dengan Cerita-cerita Isroiliyah
Riwayat israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab
yaitu Nasrani daan Yahudi yang menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ketika Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan
keagaamaan mereka berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan Saat mereka membaca kisah-kisah dalam Al-Quran terkadang mereka paparkan rincian kisah
tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Ketika mereka membaca ayat
Al-Quran dan ketika ayat Al-Quran itu menyinggung kisah yang sama, mereka pun
memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari kitab-kitab
mereka sebelumnya.
Contoh, Firman Allah Swt:
واتبعوا ما تتلو الشياطين على ملك سليما وما كفر سليمان ولكن الشياطين
كفروا يعلمون الناس السحروما أنزل على الملكين
ببابل هاروت وماروت وما يعلمان من أحد حتى يقولا إنما نحن فتنة فلا تكفر
فيتعلمون منهما ما يفرقون به بين المرء وزوجه
Artinya: dan mereka mengikuti apa[9] yang dibaca oleh syaitan-syaitan[10]pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan
sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada
dua orang malaikat[11]di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
"Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.[12]
Imam
Ar rozi dalam kitab tafsirnya menuliskan cerita isroiliah tentang siapa yang
dimaksud dengan dua malaikat (Harut dan Marut) dalam ayat ini, yaitu:
قال الإمام الراز فى تفسيره ان
السحرة كثرت فى ذ لك الزمان, واستنبطت ابوا با غريبة من السحر وكانوا يدعون
النبوة, ويجعلون تلك الاعمال السحرية معجزا تهم فبعث الله تعالى هذين الملكين لاجل ان يعلما الناس ابواب
السحر حتى يتمكنوا من معارضة اولئك السحرة الذىن يدعون النبوة كذبا
Artinya: Imam ar rozi dalam kitab tafsirnya berkata: Sesungguhnya
penyihir pada zaman[13] itu meraja lela, mereka membuat
keanehan-keanehan atau keajaiban-keajaiban dari sihir dan mengaku sebagai nabi,
mereka mengatakan keanehan-keanehan tersebut adalah mu’jizat mereka, kemudian
Allah Swt. Mengutus dua malaikat (harut dan marut) untuk mengajarkan manusia
tentang ilmu sihir sehingga manusia menjadi mampu untuk melawan[14] banyaknya penyihir yang mengaku sebagai
nabi (palsu).
D. Tokoh-tokoh Tafsir bil Ma’tsur beserta
Karyanya
1. Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far.
Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya
termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling
banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai pedoman
pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang
tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”
2. Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya adalah Nashr Ibnu Muhammad As Samarqandy yang panggilannya
adalah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan
dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini adalah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat
pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya beliau tidak menyebutkan
sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya
masih ada di perpustakaan Al-Azhar.
3. Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini adalah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An
Naisabury. Ia adalah seorang musafir yang ahli membaca Al-Qur’an. Panggilannya
adalah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara
pasti tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih
Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber
dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup menyebutkannya
pada pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia
sangat senang dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap
asing bahkan sama sekali tidak benar adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam
kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat
Al-Furqan.
4. Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy,
seorang ahli fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup
sunnah. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510
H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy
menganggap bahwa ia adalah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini telah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir
Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara
umum adalah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir
dengan ma’tsur.
5. Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini adalah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al
Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada
tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6. Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini
adalah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy.
Nama panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia
kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan
yang dha’if. Beliau dilahirkan di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota
Bashra pada tahun 700 H, dan wafat pada tahun 774 H.
7. Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini adalah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As
Suyuthy, beliau dalah pengarang beberapa kitab yang terkenal, ia juga menjadi
pengarang kitab tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur. Beliau
dilahirkan dimalam ahad sesudah maghrib, awal bulan rojab tahun 849 H di kairo,
beliau wafat di malam jum’at tanggal 19 jumadil ula tahun 911 H.
E. Kesimpulan
Tafsir bil Ma’tsur
adalaah penafsiran yang berdasarkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Ayat Al-Qur’an
lainnya, ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, ayat Al-Qur’an dengan perkataan
sahabat. Tafsir bil ma’tsur berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, oleh karena
itu tafsir bil ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi riwayat. Tafsir bi
ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi naqli.
Karakteristik tafsir bil ma’tsur
yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadit Nabi Saw.
Al-Qur’an dengan perkataan Sahabat. Dan dalam kitab tafsir bil ma’tsur juga
terdapat juga riwayat-riwayat israiliyat yaitu riwayat yang berasal dari Ahli
Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Israiliyat digunakan
dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara Al-Quran dengan Taurat dan
Injil dalam beberapa masalah, khususnya yaitu mengenai kisah-kisah umat
terdahulu, dimana dalam Al-Quran dikisahkan secara singkat dan ringkas, namun
di dalam kitab-kitab sebelumnya dijelaskan secara panjang lebar.
Tafsir bil ma’tsur sangat
dianjurkan untuk diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih
seperti al Qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir
dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah Swt.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ada beberapa tafsir
yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah
yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad Saw, seperti ayat
– ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi –
fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian
makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam
ayat- ayat al- Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan
Rassulullah. Maka dari itu tafsir bil Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani
karena metode tafsir jenis ini merujuk
pada Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Sekian…
[1] Ridwan Hamidi, http://www.belajarislam.com/pengantar-ilmu-tafsir/ diakses tanggal 04
November 2016
[2]
Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir,
terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hal. 44
[3]Said
Agil Husin Al Munawar, Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta, Ciputat Press, 2002, hlm. 76.
[4]Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alquran, Semarang, PT. Pustaka
Rizki Putra, 2002, hlm. 199.
[5]Op.cit
[7]
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta:
pustaka Amani, 2001)hlm 100
[8]
islam.pusatstudi.com tafsir-bil-matsur.html
diakses tanggal 10 november 2016
[10] Syaitan-syaitan itu
menyebarkan berita-berita bohong, bahwa Nabi Sulaiman menyimpan
lembaran-lembaran sihir (Ibnu Katsir).
[11]Para mufassirin berlainan Pendapat
tentang yang dimaksud dengan 2 orang Malaikat itu. ada yang berpendapat, mereka
betul-betul Malaikat dan ada pula yang berpendapat orang yang dipandang saleh
seperti Malaikat dan ada pula yang berpendapat dua orang jahat yang pura-pura
saleh seperti malaikat.
[12] Berbacam-macam sihir yang
dikerjakan orang Yahudi, sampai kepada sihir untuk mencerai-beraikan masyarakat
seperti mencerai-beraikan suami isteri.
[13]
Zaman setelah wafatnya
nabi Sulaiman
[14]
Mampu
membedakan antara sihir dengan mu’jizat